Sudah lama sebenarnya untuk membeli buku ini, tapi baru Jum’at kemarin sempat beli di Gramedia Palembang. Buku setebal 277 halaman ini berhasil dituntaskan untuk dibaca hari Sabtu dan pada hari Minggu ini baru saya mau buat resensinya. Sebenarnya buku ini mau saya ulangi baca lagi untuk kedua kalinya. Maklum buku terjemahan dari bahasa Inggris agak susah untuk dicerna sekali baca. Namun, takutnya kalau saya menunda untuk menulis resensi buku ini, nantinya saya tidak punya semangat lagi untuk menulis lagi. Jadi mumpung masih semangat saya sempatkan untuk menulis.
Seperti kebanyakan buku-buku karya orang Yahudi –Malcolm Gladwell – ini seperti buku-buku The Tipping Point, Blink, Outliers, beliau dalam bukunya banyak menggunakan cerita-cerita untuk menyampaikan pesannya kepada kita. Cerita-ceritanya berlatar nuansa ‘barat’ sehingga bagi kita orang ‘timur’ agak susah menangkapnya. Tapi kalau kita terus saja membaca kita akan menangkap apa pesan yang ingin disampaikan penulis.
Satu hal yang tidak lepas dari Malcolm Gladwell seperti buku-buku beliau yang lain, beliau menulis menggunakan data-data dan fakta-fakta empiris, hasil riset dan kajian yang memakan waktu lebih dari 5 tahun bahkan data sampel-nya ada yang sampai menggunakan data selama 40 tahun lebih. Ini yang membuat saya terpukau dengan keuletannya dalam menulis dan meneliti. Beliau menulis jarang menggunakan pendapat pribadi, beliau menulis sering menggunakan catatan kaki. Dan catatan kaki itu menjelaskan secara rinci bagaimana data itu diambil, tahun berapa data itu diambil, berapa sampel yang diuji, di mana sampel itu diambil, siapa atau universitas apa yang melakukan percobaan. Dan terkadang suatu riset bisa memakan waktu bisa satu generasi 10-20 tahun. Hasil riset selama 10-20 tahun itulah yang dijadikan data oleh Malcolm Gladwell untuk menulis. Pernah saya membaca data dari buku beliau untuk mengamati bagaimana masa kecil seseorang mempengaruhi kesuksesan seorang di masa dewasanya. Berarti riset ini dilakukan sejak orang ini kecil sampai orang ini dewasa. Bayangkan berapa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan riset ini? Berapa biayanya? Betapa uletnya orang yang melakukan riset ini? Dan inilah data-data yang digunakan Malcolm Gladwell dalam menulis bukunya.
David and Goliath – Ketika Si Lemah Menang Melawan Raksasa – adalah buku yang antimainstream seperti kebanyakan buku beliau yang lain. Buku ini merupakan antitesis bahwa terkadang kelemahan itu lebih menguntungkan dari kekuatan. Beliau dengan apik sekali memulai bukunya dengan kisah pertarungan antara Nabi Daud dan Raja Jalut. Seperti digambarkan dalam ajaran agama kita bahwa Raja Jalut digambarkan sebagai sosok raksasa berperisai dan bersenjata lengkap. Tubuhnya dilindungi perisai-perisai dari perunggu dan besi. Sementara Nabi Daud adalah sosok yang kecil, seorang anak gembala, tapi ia mampu mengalahkan Raja Jalut.
Dengan referensi yang kuat Malcolm Gladwell menjelaskan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan Nabi Daud bisa mengalahkan Raja Jalut. Salah satu faktornya adalah bahwa pertarungan di antara mereka dilakukan dengan jarak jauh. Nabi Daud menggunakan ketapel yang lemparannya sekuat dan secepat pistol zaman sekarang. Sementara Raja Jalut menghendaki pertarungan jarak dekat. Raja Jalut tidak siap. Nabi Daud melempar batu dengan ketapelnya tepat ke dahi Raja Jalut yang tidak terlindung, membuat dia jatuh dan pingsan, Nabi Daud lari mengambil pedang dan menyembelih Raja Jalut.
Ini adalah kisah di mana kita tahu apa kelemahan kita apa kekuatan kita. Kita juga harus tahu apa kekuatan lawan dan apa kelemahannya. Persis seperti apa yang disampaikan oleh Sun Tzu. Sehingga kita bertarung dengan cara kekuatan kita tergali, kita bertarung dengan menggali kelemahan lawan. Dan di sinilah kelemahan menjadi kekuatan.
Di kisah yang lain Malcolm Gladwell menceritakan tentang pertandingan tim bola basket. Di mana ada tim bola basket yang diisi oleh anak-anak yang pendek-pendek, jarang berlatih,skill tidak mumpuni tapi bisa tembus sampai ke kejuaraan nasional. Rahasianya adalah pelatih tim bola basket tesebut menggunakan taktik dan strategi yang menggali kekuatan timnya dan menutupi kelemahan timnya. Mereka bermain tidak seperti kebanyakan tim basket lain bermain yang mengandalkan skillfull. Mereka bermain bertahan, mereka bermain full press corner. Dan banyak kisah-kisah lain yang diceritakan oleh Malcolm Gladwell dalam buku ini.
Salah satu teori yang dipaparkan oleh Malcolm Gladwell juga yang membuat saya terpukau adalah Teori Kurva U Terbalik. Hampir sama dengan Teori Marjinalitas. Bahwa pada awalnya tambahan sumber daya akan meningkatkan hasil. Namun pada titik tertentu tambahan sumber daya justru akan menurunkan hasil yang bersifat paradoks dari hasil yang diinginkan. Persis seperti kurva U terbalik. Cerita yang saya ingat jelas adalah tentang cerita banyaknya jumlah anak dalam satu kelas. Berdasarkan penelitian di banyak negara, seperti Swiss, Jepang, Singapura, Hongkong, Denmark, Kanada, dan lain-lain, bahwa semakin sedikit jumlah murid dalam kelas, maka pembelajaran di kelas akan semakin efektif. Namun, hal ini dikritisi oleh Malcolm Gladwell, karena para peneliti mengambil sampel terlalu pendek. Ketika diamati lebih dalam, jumlah kelas yang diisi 10 anak ternyata tidak efektif dibanding jumlah kelas yang diisi 20 anak. Tapi yang pasti jumlah kelas sebanyak 20 anak pasti efektif dibanding 40 anak. Hal in terjadi karena jumlah anak yang terlalu sedikit dalam kelas membuat anak jadi kaku, tidak bisa berekspresi, dan cenderung merasa diawasi. Sehingga anak-anak cenderung pasif di kelas. Ini menjadi paradoks terhadap tesis yang mengatakan semakin kecil jumlah anak di kelas, semakin efektif suatu kelas.
Di riset yang lain, teori kurva U terbalik terbukti dalam kasus pemberian hukuman kepada para pelaku kejahatan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Pada awalnya, pemerintah federal memperberat hukuman bagi pelaku tindak kriminal, dan itu dapat mengurangi tingkat kriminalitas di beberapa negara bagian. Namun, jika riset itu diperpanjang, justru hukuman yang ditambah lebih berat lagi dapat meningkatkan tingkat kriminalitas. Karena pelaku kriminal menjadi lebih nekat, mengingat daripada mereka melakukan tingkat kejahatan yang tanggung-tanggung, lebih baik mereka melakukan tindakan kriminal yang lebih berat. Ini bersifat paradoks dengan teori, “Semakin berat hukuman pidana atas pelaku kriminal, semakin berkurang tingkat kriminalitas”. Di sini kurva U terbalik sudah menyentuh titik jenuh dan mengalami turning over menjadi “Semakin berat hukuman pidana atas pelaku kriminal, semakin nekat para penjahat, semakin banyak kejahatan yang terjadi”.
Cerita-cerita ini saya sederhanakan dengan bahasa saya sendiri, kalau teman-teman baca langsung dalam bukunya teman-teman akan menemukan data-data dan fakta-fakta yang menakjubkan yang diambil dari tahun 1960-an sampai sekarang. Sehingga konklusi yang diambil adalah berangkat dari riset dan fakta bukan atas pendapat pribadi penulis.
Untuk lebih mendalami bukunya silakan teman-teman baca bukunya. Dan untuk beberapa kisah berlatar ‘barat’ yang kurang kita mengerti dalam buku ini, saya sarankan kepada teman-teman untuk membacanya dua kali. Silakan. Selamat membaca.